Pada malam yang cerah, pada kondisi yang jauh dari polusi udara dan cahaya kota, langit malam bertabur bintang menunjukkan kesejatiannya. Dimaklumi bila fenomena tersebut mempengaruhi pola pikir manusia sejak hadirnya manusia itu sendiri di muka Bumi termasuk didalamnya adalah apapun fenomena yang terkait Sang Dewi Malam Rembulan.
Setelah Sang Surya Matahari dengan ragam kemegahannya yang hadir sebagai syarat butuh kehidupan, maka Bulan pun menawarkan pola keterulangannya dalam pengembaraannya di lintas orbitnya mengedari Bumi. Keteraturan perubahan wajahnya membangkitkan beraneka inspirasi, tidak tertinggal ragam mitologi pun lahir bahkan hingga munculnya sistem penanggalan berbasis Bulan. Pada kala tertentu akhirnya manusia mencoba mencatat ragam fenomena yang terkait dengannya secara lebih terstruktur. Secara universal bahwa pemikiran masa lalu terhadap Bulan dapat jadi sama dengan sekarang. Yang membedakan adalah hadirnya ragam fasilitas dalam hal iptek. Jadi, pada masa kekinian dengan rasa penasaran dan imajinasi yang mirip, para astronom mempelajari apapun yang terkait Bulan berlandas pengamatannya dalam ranah ujud lalu diolah dalam bahasa matematika (sebut observational science), lalu dicoba untuk menganalisisnya (sebut theoretical science). Namun, diujungnya mendapati kembalinya–sesuatu yang membuatnya feel amazement, rasa takjub dalam ranah spiritnya.
Gambar 1. Bulan
Foto bidikan wahana Galileo tanggal 7 Desember 1992. Tampak kawah cemerlang (bawah) yang diberi nama Tycho. Daerah gelap adalah batuan lava yang mengisi dasar kawah, Oceanus Procellarum (kiri), Mare Imbrium (tengah - kiri), Mare Serenitatis dan Mare Tranquillitatis (tengah), dan Mare Crisium (dekat tepi kanan). Credit: NASA/JPL.
Peredaran dan Fase Bulan
Dilihat dari Bumi, Bulan merupakan benda langit yang paling terang setelah Matahari terlebih saat Purnama. Keberadaannya tentu menarik untuk dipelajari. Pergerakan Bulan dari hari ke hari di antara bintang-bintang dapat diamati dan dapat sangat jelas ditera perpindahannya sebesar kisaran 13o ke arah timur. Perpindahan posisi Bulan itu berlangsung di daerah Zodiak. Sang Dewi Malam pun akan kembali ke tanda Zodiak yang sama setiap kira-kira 27,3 hari. Kala penjelajahan ini disebut satu bulan sideris (menempuh 1 lingkaran, 360o; lihat gambar 1).
Matahari juga setiap waktu bergeser ke arah timur (lihat artikel Dari Ekuator sampai ke Kutub), terlihat seperti dikejar-kejar oleh Bulan. Perubahan fase atau penampakan bentuk wajah Bulan berulang secara tetap dan tergantung kepada jarak sudutnya terhadap Matahari. Kondisi Bulan Mati (Bulan Baru) terjadi pada saat Bulan berada di arah Matahari (pada kondisi khusus akan terjadi Gerhana Matahari; lihat artikel Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan). Wajah Bulan separuh terjadi ketika jarak sudut Matahari-Bumi-Bulan 90o atau 270o. Sementara itu, saat fase Bulan Purnama terjadi ketika jarak sudutnya 180o (Bumi di antara Matahari dan Bulan, dan pada kondisi khusus akan terjadi Gerhana Bulan). Tahapan fase ini berulang rata-rata 29½ hari yang disebut satu bulan sinodis.
Gambar 2.
Gerak edar Bulan terhadap Bumi, dan Bumi terhadap Matahari. Perbedaan rentang waktu revolusi sideris dan sinodis Bulan.
Gambar 3. Fase Bulan
Kita selalu melihat sisi yang sama dari bulan, karena periode rotasinyanya sama dengan periode revolusinya. Namun, bagian wajah cemerlangnya senantiasa berubah setiap hari. Kadang bulat penuh, kadang bahkan tidak terlihat. Tahap-tahap perubahan wajah itulah yang disebut fase Bulan. Gambar tengah menunjukkan lintasan edar Bulan (anggap kita melihatnya dari atas kutub utara). Cahaya Matahari menerangi setengah Bumi dan setengah Bulan setiap saat. Namun, ketika posisi Bulan berubah, maka bagian siang hari Bulan pun yang dapat dilihat dari Bumi akan berubah. Gambaran perubahan fase Bulan dapat dilihat di lingkaran luar pada gambar. Credit: NASA/Bill Dunford.
Adanya fase-fase itu akibat Bulan mengedari Bumi. Sementara itu, Bulan merupakan benda langit gelap, tidak mempunyai cahaya sendiri. Wajah Bulan yang tampak terang dari Bumi adalah bagian yang memantulkan cahaya Matahari (bagian siang). Secara sederhana, seberapa besar wajah siang hari di Bulan yang dapat disaksikan oleh kita tergantung posisi kita sebagai pengamat yang tinggal di Bumi. Ibarat wajah teman kita bagian siang. Jadi, kalau kita lihat teman kita dari belakang, maka yang terlihat adalah bagian kepala belakangnya (bagian malam Bulan). Walhasil, kita tidak melihat Bulan (Bulan Mati). Kalau kita lihat teman kita dari samping, separuh wajah siang terlihat dan separuh lagi wajah malam tampak. Ini adalah posisi kuartir, jarak sudutnya 90o atau 270o (tergantung kita lihat teman kita dari sisi kiri atau kanan).
Kondisi Permukaan
Pemandangan yang tampak pada wajah Bulan dapat dilihat secara garis besar dengan kasat mata dan akan jauh lebih menarik jika dilihat dengan teleskop. Bila kita cermat, maka akan tampak bahwa setengah bagian wajah Bulan yang menghadap ke Bumi selalu sama. Hal ini akibat revolusi (kala edar) Bulan sama dengan periode rotasinya (berputar pada porosnya). Galileo Galilei ketika melihatnya dengan teleskop tahun 1610, mendapati rona terang–gelap dan banyak kawah dipermukaannya. Daerah terang yang dianggap tinggi disebut terra (jamak; terrae = dataran) dan daerah gelap yang dianggap rendah disebut mare (jamak: maria = laut). Kini diketahui bahwa dataran gelapnya ternyata adalah bentukan lava yang mengeras dan utamanya berada di dasar cekungan/kawah besar akibat tumbukan. Bukan berupa lautan dan memang hingga kini tidak dijumpai adanya lautan, danau, dan sungai di Bulan. Sementara itu, di daerah rendah lainnya ditemukan adanya campuran bulir kaca.
Gambar 4. Rimae Prinz
Topografi di sekitar lokasi pendaratan Apollo 15. Terbentuknya semacam saluran (rill) memberi informasi tentang proses aliran lava yang menciptakan daerah maria dan memberikan kesempatan untuk mengumpulkan sampel dari batuan dasar. Area ini terkait dengan Cekungan Imbrium dan memiliki litologi yang berbeda dari sifat mare di sekitarnya berdasarkan data multi-spektral. Lapisan regolith mengandung endapan piroklastik dari letusan gunung berapi yang dapat digunakan untuk pemanfaatan sumber daya in situ (ISRU) oleh para antariksawan masa depan. Penggunaan sumber daya lokal tidak hanya mengurangi biaya eksplorasi, tetapi juga memungkinkan penjelajah untuk meningkatkan waktu tinggal mereka di permukaan dan membuat lebih banyak penemuan. Credit: NASA/Arizona State University.
Kondisi permukaannya penuh kawah yang umumnya kawah (akibat) tumbukan bukan kawah gunung berapi. Hampir semua permukaan Bulan termasuk kawahnya tertutup dengan lapisan tipis material (mirip bulir pasir berdiameter ±0,1 mm) yang disebut regolith. Tebal lapisan regolith hingga ±5 m dengan kelimpahan unsur hidrogen cukup banyak dengan usia diduga ±3 milyard tahun. Batuan kawah umumnya tersusun atas unsur potassium atau kalium (K), lanthanum (La), phosphor (P), dan umumnya berusia lebih tua (±4,3 milyard tahun). Yang unik bahwa daerah mare tertutup material basalt yang diduga berasal dari dalam perut Bulan (layaknya lava yang keluar) yang terjadi tidak kurang dari 3,2 milyard tahun yang lalu. Basalt adalah batuan vulkanik berwarna gelap berstruktur bulir halus berunsur besi, magnesium, bercampur silica yang biasa ditemukan di planet kebumian (Merkurius, Venus, Bumi, Mars; umumnya berunsur pyroxene dan olivine).
Kawah terbesar adalah Aitken Basin dengan diameter 2.500 km dan kedalaman 12 km (bahkan terbesar di Tata Surya). Ada juga gunung dan yang tertinggi adalah Apennines (4.572 meter).
Gerhana
Jarak Bulan dapat ditentukan dengan cara paralaks atau dengan menggunakan gelombang radar. Perubahan jaraknya menunjukkan bahwa orbit Bulan berbentuk ellips (lonjong) dengan eksentrisitas (ukuran kelonjongan) 0,055. Jarak rata-rata Bulan ke Bumi adalah 384.000 km.
Bidang orbitnya mempunyai kemiringan sekitar 5,2o terhadap bidang ekliptika (bidang edar Bumi mengelilingi Matahari). Kedudukan bidang orbit tersebut berubah, sedemikian perpotongannya dengan bidang edar Bumi pun terus berubah. Setiap 18 tahun 8 bulan, kembali pada kedudukan semula. Periode ini disebut Periode Saros. Hal ini terkait pula dengan fenomena gerhana. Gerhana Bulan terjadi setiap Bulan Purnama, namun tidak setiap Bulan Purnama akan terjadi gerhana. Sama halnya tidak setiap Bulan Mati terjadi Gerhana Matahari, namun Gerhana Matahari terjadi saat Bulan Mati. Hal ini karena kemiringan bidang orbit dan Periode Saros di atas yang menjadi penyebabnya (lihat artikel Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan).
Gambar 5.
Skema Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan.
Pasang Surut
Oleh karena Bulan merupakan benda langit terdekat ke Bumi, maka gaya tarik gravitasi sangat berpengaruh, meskipun massa Bulan cukup kecil. Terjadinya peristiwa pasang surut permukaan laut di Bumi disebabkan oleh pengaruh itu. Bumi akan mengalami pasang setinggi-tingginya pada saat fase Bulan Baru dan Bulan Purnama yang disebut pasang maksimum. Pada keadaan Bulan-Bumi-Matahari tegak lurus (fase kuartir, wajahnya separuh), pasang yang terjadi serendah-rendahnya yang disebut pasang minimum atau perbani. Dengan gaya tariknya itu, mengakibatkan Bumi mempunyai gerak angguk (nutasi) dan rotasi Bumi pun diperlambat 0,0015 detik dalam rentang waktu 100 tahun (rentang panjang hari bertambah). Dari jarak dan kecepatan peredaran Bulan, kita dapat mengetahui massanya yaitu sekitar 1/80 kali massa Bumi. Sementara itu, dari jarak serta diameter sudutnya diketahui bahwa jari-jarinya adalah 1.738 km (sekitar ¼ jari-jari Bumi). Oleh karena itu, gravitasi di permukaan Bulan hanya 1/6 kali di Bumi (dengan besar tenaga yang sama, bila kita meloncat di Bumi hanya setinggi satu meter – maka di Bulan dapat berlipat ketinggiannya).
Gambar 6.
Lokasi di Bumi (A dan B) yang mengalami gaya gravitasi oleh Bulan, serta perbedaan gaya gravitasi (diwakili beda panjang anak panah) yang dialami di kedua lokasi tersebut. Perbedaan gaya gravitasi oleh Bulan ternyata lebih besar dibanding oleh Matahari. Yang harus diingat bahwa Bumi berotasi. Jadi untuk suatu daerah, akan terkena pasang 2 kali dan surut 2 kali per hari. Walau sebenarnya akibat rotasi ini pula terjadi pergeseran tempat menggelembungnya muka air laut (Gambar 3b).
Adanya kesesuaian sedemikian wajahnya yang kita lihat selalu sama adalah akibat adanya gaya pasang surut yang telah ada sejak awal mula pembentukan Bulan. Kasus unik bahwa gaya ini sangat terasa apabila yang terlibat adalah benda cair atau gas. Kenyataan kini, bahwa sebagian wajah Bumi diselimuti cairan (laut). Dampaknya antara lain periode rotasi Bulan seolah tertahan. Hadirnya gaya pasang surut antara Bumi – Bulan, tidak lepas dengan adanya gaya gravitasi Matahari dan Bulan. Memang gaya gravitasi Matahari lebih besar dari Bulan, namun ternyata gaya pasang surut Bulan lebih besar dari Matahari. Hal ini karena sejatinya gaya pasang surut adalah perbedaan gaya gravitasi. Jadi semisal di suatu tempat sebut lokasi A dan B di Bumi (lihat gambar di atas), maka akan ada perbedaan gravitasi akibat Bulan dan Matahari. Ternyata perbedaan gravitasi akibat Bulan lebih besar dibanding dengan akibat perbedaan gravitasi yang disebabkan oleh Matahari. Jadi, justru dalam hal ini artinya gaya pasang surut Bulan lebih besar dibanding gaya pasang surut Matahari dengan perbedaan sekitar 2,2 kalinya. Untuk suatu lokasi tertentu, akan mengalami 2 kali pasang dan 2 kali surut dalam sehari.
Akibat lain dari gaya pasang surut ini adalah Bulan menjauhi Bumi sekitar 3,8 – 4 cm per tahun. Jadi momentum-sudut Bulan akan membesar, namun sebagai kompensasinya adalah bertambah panjangnya rentang waktu rotasi Bumi atau kecepatan rotasi semakin kecil. Bila dihitung sekitar 600 juta tahun lalu, periode rotasi Bumi hanya kisaran 18 jam (kini kisaran 24 jam, dengan kecepatan rotasi di ekuator sekitar 1.670 km/jam). Tentu ini pula yang turut menentukan iklim, selanjutnya pola dan ragam kehidupan di muka Bumi.
Misi Antariksa
Misi penerbangan ke Bulan berhasil dilakukan. Tidak kurang 6 misi Apollo (USA, 1970–1976) berhasil mengambil contoh tanah/batuan Bulan (sekitar 382 kg) lalu diteliti di Bumi. Termasuk wahana Rusia Luna berhasil membawa 310 gr tanah Bulan. Pendaratan astronot yang pertama kali adalah pada misi Apollo 11. Para astronotnya adalah Neil Armstrong, Edwin Aldrin, Michael Collins. Singkatan dari nama-nama tersebut dipakai sebagai nama kristal yang hanya ditemukan di Bulan yaitu Armacolite (Armstrong-Aldrin-Collins). Misi lainnya (lihat: Tabel 2) antara lain Luna 16 (USSR, 1970), Luna 20 (USSR, 1972), Luna 24 (USSR, 1976). Ada 12 astronot yang berhasil berjalan di Bulan.
Penelitian terhadap Bulan memang semakin meningkat pesat sejak era penerbangan luar angkasa, baik berawak ataupun tidak. Baik sekedar lintas dekat (fly-by), mengorbit (orbiter), maupun meneliti permukaan Bulan – baik pendaratan ekstrim (hard-lander) atau se-aman mungkin (soft-lander). Banyak instrumen yang diletakkan di sana seperti seismometer dan gravimeter. Hal ini dilakukan setelah diketahui bahwa di Bulan pun ada gempa walau berskala kecil dan umumnya di kedalaman 800 – 1.000 km di batas litosfer–astenosfer. Utamanya akibat gaya pasang surut antara Bumi dan Bulan. Biasa terjadi saat Bulan pada posisi perigee (paling dekat Bumi), apogee (paling jauh dari Bumi), Bulan Mati, dan saat Purnama. Gempa juga terjadi akibat tumbukan batuan luar angkasa di permukaan. Ditaruh pula passive laser reflectors yang dapat memantau setiap saat jarak Bumi – Bulan. Penelitian dengan wahana Lunar Prospector (1998) dan Clementine (polar orbiter, 1994) mengindikasikan di kutub Bulan ada es air (H2O) yang tertutup lapisan regolith. Adapun 2 misi flyby wahana Galileo (misi utama wahana ini adalah planet Jupiter) tahun 1990 dan 1992 dan kombinasi data sebelumnya makin menguak cadar Bulan dari sisi topographic, komposisi kimia, data mineral, dll.
Gambar 7. Apollo 17 Rover
Astronaut Apollo 17, Eugene Cernan melakukan test kendaraan penjelajah sebelum melaksanakan penelitian tentag karakter permukaan Bulan. Credit: NASA.
Terbentuknya Bulan
Banyak hal yang menarik diperoleh dari hasil penelitian misi Apollo, antara lain mengenai geologi Bulan yang dapat mengungkapkan tentang umur batuan Bulan. Diperkirakan umur batuan Bulan yang paling muda adalah 3,1 milyar tahun, sedangkan yang tertua 4,42 milyar tahun. Berbasis perbandingan isotop (teknik terkait radioaktifitas (radiogenic isotope) yang dipakai berlandas peluruhan radioaktif untuk menentukan usia atau lokasi keterjadian dari obyek telaah dalam bidang Geologi, Arkeologi, dll.), khususnya oksigen bahwa Bumi dan Bulan terbentuk dari adonan yang sama sedemikian muncul teori yang mengatakan bahwa Bulan terbentuk dari sebagian bahan baku Bumi. Bahkan ketika diketahui ukuran keduanya sebanding, sistem Bumi – Bulan kadang dijuluki Planet Ganda. Namun, penelitian modern berdasar ekplorasi angkasa (analisis Geologi), maka sejak tahun 1980-an muncul teori baru karena sejatinya kandungan atau komposisi unsur batuan di kedua benda ini berbeda. Teori baru menyebutkan bahwa pada jaman dahulu – saat awal lahirnya – Bumi bertabrakan dengan benda seukuran planet Mars. Akibatnya terbentuk piringan materi (layaknya cincin Saturnus atau Sabuk Asteroid) yang kemudian terkondensasi (memadat) menjadi Bulan. Hal ini dapat menjelaskan banyak hal seperti komposisi kimia, kemiringan sumbu rotasi, hadirnya sistem magma, dll. Namun, ada hal yang masih menjadi pertimbangan bahwa proses keterjadian Bulan pun harusnya tidak selambat yang diperkirakan melainkan harusnya dalam rentang waktu cukup singkat – tidak jutaan tahun.
Secara singkat, ada 3 pandangan dalam proses terbentuknya Bulan: Teori Kondensasi (terbentuk bersamaan dengan Bumi saat Tata Surya terbentuk), Teori Fisi (Bulan adalah pecahan Bumi saat pembentukannya), dan Teori Tangkapan (Bulan terbentuk terpisah dari Bumi kemudian terperangkap gravitasi Bumi sedemikian menjadi satelit – hal ini mirip dengan yang terjadi pada satelit planet Mars, yaitu Phobos dan Deimos).
Gambar 8. Terbentuknya Bulan
Ilustrasi ini menunjukkan kejadian 4,5 miliar tahun yang lalu ketika terbentuknya Bulan sebagai akibat tabrakan antara cikal bakal Bumi (proto-Earth) dengan benda (planetoid) sebesar planet Mars. Permodelan ini diperoleh ilmuwan Southwest Research Institute dengan cara menggabungkan telaah berbasis model dinamika, termal, dan kimia batuan Bulan setelah tumbukan besar. Hasil riset ini sekaligus menjelaskan mengapa di Bulan jarang dijumpai batuan yang elemennya mudah menguap bila dibandingkan dengan batuan Bumi. Credit: NASA/JPL-Caltech. Ref: Soderman/SSERVI/SwRI Team.
Table 1.
DATA FISIK BULAN
Jarak terjauh (apogee) Jarak terdekat (perigee) Eksentrisitas orbit Periode Revolusi (synodic month) Periode Revolusi (sidereal month) Periode Revolusi (tropical month) Periode Revolusi (Draconic month) Periode Revolusi (Anomalistic) Inklinasi orbit terhadap bidang ekliptika Inklinasi rotasi terhadap bidang orbit Kecepatan edar rata-rata Regresi titik nodal Massa Kerapatan rata-rata Gravitasi Permukaan Kecepatan Lepas Diameter rata-rata Albedo daerah terrae Albedo daerah mare Temperatur permukaan rata-rata siang hari Temperatur permukaan rata-rata malam hari Temperatur permukaan rata-rata siang di kutub Temperatur permukaan rata-rata malam di kutub |
406.697 km 356.410 km 0,0549 29,530588 hari (acuan fase Bulan)^ 27,321661 hari (acuan bintang)^ 27,321582 hari (acuan vernal equinox atau longitude langit yang sama)^ 27,212220 hari (pergeseran Bulan melewati titik nodal)^ 27,55 hari (pergeseran titik perigee, 223 sinodis = 238,992 anomalistic)^ 5° 08’ 43” 1° 32’ 1,68 km/s 18,6 tahun 7,35 x 1022 kg (0,012 kali Bumi) 3,34 g/cm3 (0,607 kali Bumi) 1,62 m/s2 (0,165 kali Bumi) 2,38 km/s (0,213 kali Bumi) 3.476 km 0,11 – 0,18 0,07 – 0,10 107 °C (dapat mencapai 214 oC) – 153 °C (dapat mencapai – 184 oC) – 40 °C – 230 °C |
Catatan: (^) pembanding: Encyclopaedia Britannica.
Tabel 2.
KRONOLOGI MISI ANTARIKSA KE BULAN
(Credit: NASA History Program Office dan SSERVI-NASA)
NO. |
TAHUN |
NAMA WAHANA |
TGL |
KETERANGAN |
01 |
1959
|
Luna 1 |
02 Jan |
Flyby |
02 |
Pioneer 4 |
03 Mar |
Flyby |
|
03 |
Luna 2 |
12 Sep |
Impact |
|
04 |
Luna 3 |
04 Okt |
Probe |
|
05 |
1961
|
Ranger 1 |
23 Ags |
Attempted Test Flight |
06 |
Ranger 2 |
18 Nov |
Attempted Test Flight |
|
07 |
1962
|
Ranger 3 |
26 Jan |
Attempted Impact |
08 |
Ranger 4 |
23 Apr |
Impact |
|
09 |
Ranger 5 |
18 Okt |
Attempted Impact |
|
10 |
1963 |
Luna 4 |
02 Apr |
Flyby |
11 |
1964
|
Ranger 6 |
30 Jan |
Impact |
12 |
Ranger 7 |
28 Jul |
Impact |
|
13 |
1965
|
Ranger 8 |
17 Feb |
Impact |
14 |
Ranger 9 |
21 Mar |
Impact |
|
15 |
Luna 5 |
09 Mei |
Impact |
|
16 |
Luna 6 |
08 Jun |
Attempted Lander |
|
17 |
Zond 3 |
18 Jul |
Flyby |
|
18 |
Luna 7 |
04 Okt |
Impact |
|
19 |
Luna 8 |
03 Des |
Impact |
|
20 |
1966
|
Luna 9 |
31 Jan |
Lander |
21 |
Luna 10 |
31 Mar |
Orbiter |
|
22 |
Surveyor 1 |
30 Mei |
Lander |
|
23 |
Lunar Orbiter 1 |
10 Ags |
Orbiter |
|
2 |
Luna 11 |
24 Ags |
Orbiter |
|
25 |
Surveyor 2 |
20 Sep |
Attempted Lander |
|
26 |
Luna 12 |
22 Okt |
Orbiter |
|
27 |
Lunar Orbiter 2 |
06 Nov |
Orbiter |
|
28 |
Luna 13 |
21 Des |
Lander |
|
29 |
1967
|
Lunar Orbiter 3 |
04 Feb |
Orbiter |
30 |
Surveyor 3 |
17 Apr |
Lander |
|
31 |
Lunar Orbiter 4 |
08 Mei |
Orbiter |
|
32 |
Surveyor 4 |
14 Jul |
Attempted Lander |
|
33 |
Explorer 35 (IMP-E) |
19 Jul |
Orbiter |
|
34 |
Lunar Orbiter 5 |
01 Ags |
Orbiter |
|
35 |
Surveyor 5 |
08 Sep |
Lander |
|
36 |
Surveyor 6 |
07 Nov |
Lander |
|
37 |
1968
|
Surveyor 7 |
07 Jan |
Lander |
38 |
Luna 14 |
07 Apr |
Orbiter |
|
39 |
Zond 5 |
15 Sep |
Return Probe |
|
40 |
Zond 6 |
10 Nov |
Return Probe |
|
41 |
Apollo 8 |
21 Des |
Crewed Orbiter |
|
42 |
Apollo 10 |
18 Mei |
Orbiter |
|
43 |
Luna 15 |
13 Jul |
Orbiter |
|
44 |
Apollo 11 |
16 Jul |
Crewed Landing |
|
45 |
Zond 7 |
07 Ags |
Return Probe |
|
46 |
Apollo 12 |
14 Nov |
Crewed Landing |
|
47 |
1970
|
Apollo 13 |
11 Apr |
Crewed Landing (batal) |
48 |
Luna 16 |
12 Sep |
Sample Return |
|
49 |
Zond 8 |
20 Okt |
Return Probe |
|
50 |
Luna 17 |
10 Nov |
Rover |
|
51 |
1971
|
Apollo 14 |
31 Jan |
Crewed Landing |
52 |
Apollo 15 |
26 Jul |
Crewed Landing |
|
53 |
Luna 18 |
02 Sep |
Impact |
|
54 |
Luna 19 |
28 Sep |
Orbiter |
|
55 |
1972
|
Luna 20 |
14 Feb |
Sample Return |
56 |
Apollo 16 |
16 Apr |
Crewed Landing |
|
57 |
Apollo 17 |
07 Des |
Crewed Landing |
|
58 |
1973
|
Luna 21 |
08 Jan |
Rover |
59 |
Explorer 49 (RAE-B) |
10 Jun |
Orbiter |
|
60 |
1974
|
Luna 22 |
02 Jun |
Orbiter |
61 |
Luna 23 |
28 Okt |
Lander |
|
62 |
1976 |
Luna 24 |
14 Ags |
Sample Return |
63 |
1990 |
Hiten |
24 Jan |
Flyby dan Orbiter |
64 |
1994 |
Clementine |
25 Jan |
Orbiter |
65 |
1997 |
AsiaSat 3/HGS-1 |
24 Des |
Lunar Flyby |
66 |
1998 |
Lunar Prospector |
07 Jan |
Orbiter |
67 |
2003 |
SMART 1 |
27 Sep |
Lunar Orbiter |
68 |
2007
|
Kaguya (SELENE) |
14 Sep |
Lunar Orbiter |
69 |
Chang'e 1 |
24 Okt |
Lunar Orbiter |
|
70 |
2008 |
Chandrayaan-1 |
22 Okt |
Lunar Orbiter |
71 |
2009
|
Lunar Reconnaissance Orbiter |
17 Jun |
Lunar Orbiter |
72 |
LCROSS |
17 Jun |
Lunar Orbiter dan Impactor |
|
73 |
2010 |
Chang'e 2 |
01 Okt |
Lunar Orbiter |
74 |
2011 |
Gravity Recovery And Interior Laboratory (GRAIL) |
10 Sep |
Lunar Orbiter |
75 |
2013
|
Lunar Atmosphere and Dust Environment Explorer (LADEE) |
06 Sep |
Lunar Orbiter |
76 |
Chang'e 3 |
01 Des |
Lunar Lander dan Rover |
|
77 |
2018 |
Badan Riset Antariksa Korea Selatan (Korean Aerospace Research Institute – KARI) akan meluncurkan wahana buatannya yang pertama untuk mengorbit Bulan (orbiter) dengan tipe polar-orbit. Membawa pantoscopic polarizing camera, gammaray spectrometer, dan perangkat pengukur medan magnet Bulan. Mengorbit dengan ketinggian 100 km selama kisaran satu tahun. Selain meneliti fitur geografis Bulan dan lingkungan sekitarnya, juga mencari sumber daya potensial. Pemetaan secara cermat topografi Bulan bertujuan mencari tempat pendaratan yang baik untuk misi berikutnya (lunar lander). |
Daftar Pustaka
Darling, D., 2004, The Universal Book of Astronomy, John Wiley & Son, Inc., New Jersey, p.301, 337, 345 - 348
Dasch, P. (ed.), 2002, Planetary Science and Astronomy – Space Science Vol. 2, Macmillan Reference USA – Thomson Gale, New York, p.v-vi (Bulan), 109-115 (Bulan), 190-194 (Wahana Antariksa)
Sawitar, W., 2014, Bulan: Satelit Bumi, Bahan Ajar Lokakarya Hisab Rukyat, Planetarium dan Observatorium Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta